Tidak biasanya aku bangun sepagi ini, angin pagi berhemus membuat ku merasakan sedikit hembusan angin yang membuat ku terasa sedikit kedinginan. Ternyata sekali-kali bangun lebih awal, sebelum mentari benar-benar memunculkan sinar kemerahannya dengan penuh keberanian yang membuat bumi terasa hangat bahkan panas, menyenangkan juga. Tetesan embun yang menetes dari kelopak bunga mawar dengan malu-malu, membuat ku merasa Tuhan telah menganugrahkan kehidupan yang luar biasa pada ku.

Aku bahkan sempat melupakan rasa luka dalam hati dan jiwa ku. Ini kesekian kalinya aku gagal menjalin hubungan yang serius dengan pria. Aku merasa tanpa mereka aku bisa bertahan, aku benar. Tetapi, lingkungan ku mengatakan tidak. Setidaknya di keluarga ku, terutama mama ku yang menuntut aku untuk segera menikah.

Menikah? Terbesit di dalam pikiran ku saja membuat aku merinding. Aku bukannya takut komitmen tetapi aku takut apa yang terjadi setelahnya. Dunia ku bakal terkurung dalam sangkar, aku bakal bagai burung yang tak bisa bebas mengepakan sayap-sayap ku. Aku belum siap menghadapi tuntutan-tuntutan setelah menikah.

Mungkin karena itulah beberapa kali aku putus dengan pasangan ku, karena mereka semua mengajak hubungan yang kami bina untuk lebih serius. Apalagi, kalau bukan pernikahan. Beberapa sahabat dekat ku, mengatakan aku bodoh. Kalau topik ini ku lontarkan di sela-sela pertemuan.

''Kurang apa Rudi? Karirnya cemerlang, keluarganya juga pengusaha sukses. Dia juga baik dan tidak pelit, kalau kamu menikah sama dia, kamu pasti bahagia ann,'' ujar Endy menyayangkan.

Lisa menimpali, kamu sudah lama menjalin hubungan. Dua tahun itu, bukan waktu yang singkat menjalin hubungan.

Aku hanya menepis komentar mereka. Ya, kadang apa yang mereka katakan ada benarnya juga. Hanya saja, apa harta dan karirnya yang cemerlang bakal menjamin pernikahan itu akan langeng? Tentu saja, pertanyaan yang aku lontarkan tidak pernah terjawab hingga usia ku, dua tahun lagi berkepala tiga.

Aku melihat pernikahan Lisa tak berjalan mulus. Lantaran, suaminya tak terima, karir istrinya melaju dengan cepat, melebihi karir suaminya. Ia pun meminta Lisa untuk menjadi ibu rumah tangga. Tentu saja, Lisa menolak. Karena karir yang ia bangun tak semudah itu ia dapatkan, butuh kerja keras dan penuh tantangan untuk mencapai jabatan sebagai manager.

Sedangkan Endy harus pasrah di madu, karena suaminya tercinta 'tak sengaja' menghamili seketarisnya saat itu, katanya. Tak sengaja? Yang benar saja, selingkuh ya selingkuh aja. Endy terpaksa menerima nasib jadi istri tertua. Karena tidak bisa berbuat apa-apa. Pekerjaan tak punya, mau berbuat apalagi. Ya, nasi sudah menjadi bubur.

Lalu, aku? Mau seperti apa nasib akan membawa ku, seperti Endy atau Lisa? Tentu saja, aku tidak mau bernasib sama dengan mereka. Walaupun, aku sangat prihatin dan peduli dengannya. Aku ingin hidup ku selalu bahagia. Meskipun itu sulit digapai.

''Pagi-pagi koq udah melamun, mba'' sapa Udin, tukang sapu komplek perumahan tempat aku ngontrak.

''Gak juga koq pak, niatnya mau jogging tapi ga jadi. Permisi pak, saya mau masuk ke dalam dulu,'' ujar ku sambil mengambil koran yang tergeletak di teras rumah.

Kembali ke rutinitas, terkadang membuat ku jemu. Ingin rasanya melarikan diri dan tengelam dalam dunia ku sendiri walaupun cuma beberapa hari. Tanpa melakukan apa pun yang diminta orang lain atau atasan. Tapi, sayang kalau mau mengambil cuti untuk hal-hal begitu, karena aku sudah punya rencana bakal menghabiskan cuti tahunan ku untuk berlibur ke Singapura. Sekedar cuci mata dan jauh dari dunia rutinitas ku.

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health