Teman-teman Anne di Jakarta sudah sibuk meminta Anne berkunjung ke sana. Pasalnya, salah satu diantara tiga sahabat baiknya semasa masih kuliah dulu mau melangsungkan pernikahan. Berhubung, hanya Anne yang paling jauh memisahkan diri diantara mereka. Maka Anne harus bertandang ke sana.

Pernikahan memang masih akan berlangsung dua minggu ke depan. Namun, akhir pekan ini, Anne memutuskan untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya di Jakarta. Setelah memastikan pekerjaan di Batam beres. Anne pun meninggalkan kota industri tersebut.

Perjalanan dengan pesawat memang tidak terasa. Tak berselang lama, Anne pun menginjakan kaki di ibukota metropolitan yang super padat. Karena datang diam-diam, tanpa woro-woro ma ketiga kawannya itu. Anne pun memilih menggunakan taxi dan langsung meluncur ke salah satu hotel yang biasa digunakannya untuk menginap bila bertandang ke Jakarta.

Sebenarnya, teman-temannya sering marah. Pasalnya, Anne tak pernah mau menginap di rumah mereka. Padahal, banyak kamar yang tersedia. Anne selalu menolak dengan halus. Alasannya, sapa tahu ketemu arjuna --pria tampan dan berwibawa dan baik hati-- Kalau sudah begitu, sahabat-sahabatnya hanya tertawa saja.

Sebelum menyamperi sahabat-sahabatnya yang hingga saat ini masih belum tahu keberadaan Anne di Jakarta. Anne pun menelpon mereka dan menanyakan keberadaannya. Untung lah ketiga sohibnya itu lagi nongkrong di salah satu cafe di salah satu mall di Jakarta.

''Hai,'' sapa Anne, saat melihat ketiga sahabatnya itu sedang asyik duduk ngerumpi. Setelah memborong sejumlah barang di butik-butik yang ada di Mall. Hal itu terlihat karena banyaknya kantong belanjaan di bawah meja mereka.

''Anne,'' teriak mereka serempak dan langsung menyamperi dan cupika-cupiki pun terjadi.

''Sialan lo, datang kemari, ngak kabar-kabari kita,'' sehut Lara sambil mencubit tangan ku.

''Aduh, sakit Ra,'' ujar ku sambil tertawa. ''Namanya aja mau bikin kejutan. Masa kasih tau seh. Kawan mau menikah, masa aku ngak turut ambil bagian dalam huru-hara ini,'' kata ku sambil melirik Ema.

Ema pun langsung menyikut lengan. ''Ya, wajib tuh,''

''Paling juga mau ambil bagian dalam hal mencicipi wedding cakenya,'' timpal Inne.

''Tahu aja lo,'' jawab ku, sambil diselingin tawa diantara kami. ''As far as, everything OK?, tanya ku pada Ema.

''I guest. Apalagi ada kamu di sini, pasti makin OK,'' jawab Ema.

''Eh, Anne. Kamu kapan nyusul,'' tanya Lara dan otomatis kedua sahabatnya yang lain mengalihkan pandangan ke aku.

''Wow, wow nyusul apaan neh?,'' tanya ku balik.

Mereka pun tertawa dan berujar, ''Pura-pura ngak tahu lagi''

''Aku masih lama friends. Soalnya, arjuna ku masih di paket dan paketnya belum sampai-sampai neh. Lagi pula, kita disini kan untuk membantu Ema. Jadi urusan ku di nomor sekian kan dulu ya,'' pinta ku dengan memberikan mimik mengiba.

''Ngak juga,'' sehut Ema cepat. ''Apa seh yang kamu tunggu. Pacar baik hati koq di putus,''

''Bukan diputus. Kami hanya pisah sementara. Anyway busway, ngak penting deh dibahas. Kita ke salon yuk. Mau crembath neh, capek barusan turun dari pesawat. Penat neh leher,'' ujar ku mengalihkan perhatian.

''Boleh aja,'' jawab mereka serempak.

****

Setelah creambath, kami pun berpisah. Sebenarnya seh tidak benar-benar berpisah. Yang masih tinggal di mall itu, aku dan Inne. ''In, do you have problem?,'' tanya ku, akhirnya.

Inne memandang ku lama, ''Nope. Why you ask like that?

Tangan Inne ku tarik untuk memasuki cafe yang classic dan tidak terlalu ramai. Kami pun memilih duduk di sudut, tetapi cukup strategis untuk memandang ke luar. ''Kita kan sudah kenal lama. Masa aku tidak tahu, kalau kamu lagi punya masalah. Memang, kamu berpura-pura untuk turut tertawa. Tapi, tahu ngak. Tawa yang kamu keluarkan tidak lepas. Kawan kita mungkin lagi terlalu sibuk dan bahagia, sehingga tidak memperhatikan hal itu,'' ungkap ku sambil memegang jemari sahabat ku satu ini.

Inne tertawa renyah --tawa khasnya-- ''Kamu memang tak berubah. Selalu aja, mau jadi pendengar yang baik. Pantesan, ku lihat kolom mu makin banyak yang baca. Kawan-kawan ku di kantor, suka baca kolom yang kami isi,'' kata Inne.

Sejauh ini, kata Inne, aku tak pernah merasa punya masalah. Tapi, tanpa disadari, hubungan rumah tangga ku tak lagi nyaman.

Seingat ku, pernikahan Inne baru berjalan sekitar enam bulan. Jadi, persoalan dalam rumah tangga mereka pasti ada. ''Maksud mu, In. Tidak nyaman yang seperti apa?,'' tanya ku.

''Ya, tidak nyaman aja. Tidak nyaman karena aku terlalu capek untuk mengurus kerjaan dan rumah tangga. Sebelum menikah, kami sudah sepakat, bahwa aku akan tetap kerja. Karena, aku menyukai pekerjaan ku,'' ujarnya lirih.

Inne melanjutkan, semua pekerjaan rumah aku yang kerjakan. Sedangkan Didi selalu membuat rumah berantakan dengan barang-barangnya yang berserak. Awalnya seh, aku tak masalah. Tapi lama kelamaan, setiap kali dibilangin, dia marah-marah.

Inne menarik nafasnya. ''Pernikahan tidak seperti yang ku bayangkan. Happy ending,'' keluhnya.

''Ngak juga ko. Memang menyatukan dua kepribadian itu tidak gampang. Banyak kawan-kawan kita yang sukses dengan pernikahannya bukan?,'' tanya ku. ''Itu tergantung bagaimana kita menyikapi permasalahan. Pernah, kamu membicarakan ketidak sukaan mu pada Didi dalam kondisi yang sedang bersantai dan tidak dalam keadaan sama-sama saling capek,''

Inne mengelengkan kepala. ''Ya, mana bisa. Kita sama-sama bekerja dan sibuk. Kadang, aku masih tidur. Didi sudah pergi kantor. Begitu juga sebaliknya.

''Tapi kan tidak setiap saat,'' tanya ku lagi.

''Iya seh Anne, cuma aku malas aja membicarakan itu lagi dengannya,'' ujar Inne sambil menyuapkan potongan blackforest.

''Coba resep ini, kalau kamu mau. Kamu pulang, mandi dan ajak Didi pergi makan malam ke tempat romantis dan bilang keluh kesah mu. Jangan dipendam lama-lama, bahaya. Bicarakan dari hati ke hati,'' saran ku.

''Ach, malas,'' tolak Inne acuh tak acuh.

''Ye, coba dulu deh. Karena kamu sahabat ku. Masa ku biarkan kamu memikul beban itu seorang diri. Kalau ngak mempan, baru kita hajar dia rame-rame,'' ujar ku sambil tertawa.

Inne pun tertawa, ''Jangan donk. Biar bagaimana pun dia suami ku. Tapi, kalau menghajarnya, suruh dia masak boleh juga,''

****

Jam sudah menunjukan pukul 20.00 WIB, saat aku tiba di hotel. Badan terasa lelah dan pegel. Merendamkan tubuh di bath tub dengan aroma lavender, rasanya nyaman dan bisa tidur dengan cepat. Untunglah, aku tak pernah melupakan peralatan tersebut dari tas kosmetik ku.

Ku tuangkan aroma lavender ke bath tub yang sudah berisikan air hangat. Ku rendam tubuh ku dalam air yang berbusa dengan aroma lavender. Ku biarkan diri ku hanyut dalam aroma wewangian. Tanpa disadari, aku memikirkan Inne. Bagaimana pertemuannya dengan suaminya, Didi.

Memang dalam pernikahan tidak ada yang mudah. Bukan karena itu, aku memilih masih sendiri. Karena menyatukan dua kepribadian tidak gampang. Mengubah kebiasaan hidup single lah yang masih belum bisa ku lakukan.

Jauh dari kamar mandi hotel, Inne yang sudah berdandan cantik dan menunggu suaminya datang ke restauran X, tempat biasa mereka merayakan sesuatu special ketika masih pacaran. Saat Didi tiba di restauran X. Kaget melihat penampilan Inne yang berbeda dan duduk di bangku yang biasa mereka dudukin bersama.

Begitu melihat Didi, Inne pun melambaikan tangan dan tersenyum. Didi pun membalas lambaian tangan dan membalas senyum Inne. ''Memangnya, ada yang ku lewatkan honey?,'' tanya Didi, saat menarik bangku disebelah istrinya.

''Tidak ada, aku hanya ingin suasana yang berbeda aja. Aku sudah pesankan makanan kesukaan mu kalau ke sini. Bagaimana kerjaan mu,'' tanya Inne pada suaminya.

''Baik. Ada apa neh. Apa ada yang special, tetapi aku lupa,'' tanya Didi masih dengan mimik bingung.

''Memangnya harus ada yang spesial ya, baru kita ngumpul. Ngak juga kan?'' tanya Inne balik.

''Ngak juga seh. Tapi aku senang aja. Sudah lama ya, kita ngak pergi berdua seperti ini. Tahu gitu, aku mandi dulu,'' kata Didi sambil tertawa.

''Tidak apa-apa ko. Walaupun kamu bau, tetapi tetap ganteng,'' goda Inne. Spontan mereka tertawa kecil.

''Aku minta maaf ya. Selama ini membuat mu kesal. Sebenarnya, aku tidak bermaksud demikian,'' ujar Didi, membuat Inne tersentak kaget.

''Maksudnya?,'' tanya Inne dengan mimik bingung.

''Sebenarnya, persoalan seperti itu tidak perlu dipertengkarkan. Hanya saja, kebiasaan ku susah untuk diubah. Aku akan berusaha deh,'' ungkap Didi.

''Wow, aku kan belum bilang apa-apa,'' kata Inne lagi.

''Tahu ngak, selama ini aku juga sudah berusaha agar tidak ada pertengkaran. Tapi belakangan ini sikap mu berubah dingin dan mendiamkan aku. Aku jadi takut kalau salah-salah berbicara akan ada pertengkaran lagi,'' urainya sambil mengenggam lembut jemari istrinya.

''Kamu tahu dari mana,?'' tanya Inne penasaran.

''Setelah pertengkaran kita pada waktu itu. Aku berusaha berubah, tapi tetap aja sulit mengubah kebiasaan sewaktu masih single. Untuk tetap membuat rumah tangga kita nyaman. Aku membaca buku-buku dan majalah tentang pernikahan,'' ungkapnya. ''Disitulah aku baru tahu. Bahwa ada beberapa hal yang harus dibicarakan dari hati ke hati. Bukan pada saat hati sama-sama panas dan ada berberapa hal yang tidak perlu diucapkan, tetapi saling memahami,''

''Makasih, karena kamu sudah mau berusaha untuk mengubah menjadi suami yang lebih baik. Aku pun juga akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri yang baik,'' tutur Inne akhirnya.

''Harus tuh,'' kata Didi sambil menarik hidung istrinya.

''Apaan seh. Kan, aku sudah bilang. Ngak suka hidung ku ditarik. Tapi sekali-kali ngak papa,'' ucap Inne sambil tertawa.

''Biar mancung,'' bisik Didi sambil terawa renyah.

''Jadi idung ku, ngak mancung neh,'' ujar Inne sambil pura-pura cemberut. ''Aku mau ke toilet sebentar ya say,'' pamit Inne.
Begitu tiba di kamar mandi wanita. Inne pun segera menekan nomor telepon Anne. ''Lama banget seh,'' ujar Inne waktu mendengar jawaban Hallo dari sebrang.

''Gue ketiduran di bath tub neh. Sampai airnya dingin. Ada apa, ngak sukses ya?,'' tanya Anne bertubi-tubi.

''Aku cuma mau bilang, makasih. Dah ya, suami ku nunggu. Kami mau dinner dulu,'' ujar Inne menutup sambungan telp.


Tak lama Inne menutup sambungan telepon. Suara ponsel Anne pun berdering. Layar LCD ponsel bertulisan Didi. Belum sempat Anne mengeluarkan suara. ''Ternyata article lo tokcer juga. Cepatan nikah tuh. Thanks ya, atas article yang kamu tulis sebulan lalu,'' ujar Didi dan langsung mematikan ponselnya.

Gantian Anne di kamar hotel hanya berbalutan handuk yang kebingungan. Begitu memahami, ia pun tersenyum. ''Syukur deh,'' ujar Anne.
Kembali ke restauran X tempat Didi dan Inne berada. ''Habis nelpon siapa,'' tanya Inne, saat melihat suaminya memutus sambungan ponselnya.


''Habis nelp orang spesial agar segera menikah,'' jawab Didi, membuat Inne bingung. ''Aku habis nelp Anne, bilang makasih. Karena sebulan lalu, aku baca articlenya tentang saling memahami karakter suami-istri dan ternyata mantap,'' tuturnya sambil tersenyum.

Spontan aja Inne pun tertawa geli. ''Kenapa,'' tanya Didi bingung.

''Aku juga tadi nelp Anne. Bilang makasih atas sarannya,'' ujar Inne menekankan suaranya agar tidak tertawa lepas.

***

Dalam menjalani batera kehidupan dalam rumah tangga. Pasang surut kehidupan dan persoalan kerap terjadi. Namun dalam menghadapi persoalan, tidak ada salahnya saling memahami antara satu dan yang lain. Tugas, suka dan duka dalam rumah tangga harus saling dibagi, tanpa perlu ucapan dengan kata yang penuh emosi atau marah.

--Kisah ini hanya fiktif ya--

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health