Belakangan ini menjelang Ujian Nasional ada banyak kejadian lucu. Semua itu dikarenakan virus. Virus itu yang bernama UN (Ujian Nasional). Biasanya setiap hari, di kota tercinta --karena saat ini aku tinggal di sin-- kota yang terkenal dengan sebutan kota gurindam dan negeri pantun tiada hari yang namanya tidak mati lampu.

Kali ini, menjelang UN hampir tidak ada mati lampu di rumah. Sebagai masyarakat juga, aku merasa bersyukur. Namun menurut beberapa masyarakat, ini dikarenakan anak-anak sedang menghadapi UN. Sehingga orangtua meminta dispensasi dari PLN agar mempertimbangkan hal ini.

Mengingat tidak semuanya warga Tanjungpinang adalah warga kaya raya yang mampu membeli genset jika sedang mati lampu. Mati lampu tidak tanggung-tanggung sekali mati bisa sampai tiga jam lebih. Bahkan kadang dalam sehari bisa dua kali mati lampu. Bahkan ini ya, pengalaman pribadi, yang kurasakan sehari tiga kali, seperti minum obat.

Jadi permintaan para orangtua yang memang mayoritas bukan yang berduit bisa di maklumin. Apalagi anak ditekan dari guru, guru di tekan kepala sekolah, kepsek di tekan Disdikpora Kab/Kota, Disdikpora ditekan Disdik Kepri, Disdik Kepri ditekan Menteri Pendidikan. Benang kusut jadinya.....

Em . . . Sebenarnya tidak ada salahnya dengan UN, tetapi apakah kualitas dan kuantitas sekolah bisa di samakan??? Bagi orang yang berduit, sekolah di sekolah yang bergengsi tentu tidak ada masalah. Bagi orang yang pintar, sekolah di sekolah yang bertaraf nasional Oke punya. Lalu, bagaimana dengan anak yang memiliki otak yang pas-pasan? Cuma satu kata, kasihan deh kamu, begitu kah??

Diluar itu semua, bagaimana dengan anak yang mendapatkan pendidikan di hiterland? Standar yang diberikan pemerintah pusat tidak tanggung2, rata-rata 5,5. Bagaimana dengan nasib mereka? Virus itu yang bernama UN tidak mengenal sosial, pendidikan dan juga sekolah bertaraf internasional atau hiterland. Karena semuanya tetap sama, tidak di pandang sebelah mata.

Namanya juga virus, mana bisa memilih orang kaya or orang miskin, orang pintar or orang bodoh. Jadi tidak heran, ada beberapa anak yang stres dalam menghadapi UN. Bukan UN-nya yang dijadikan momok, tetapi tekanan yang dihadapi anak.

Sebenarnya kalau dipikir2 UN sama seperti masa menghadapi EPTA/EPTANAS cuma bedanya sekarang UN dan itu semua menjadi sorotan semua, baik orangtua, murid, guru, kepsek hingga gubernur bahkan menteri.

Apakah pelajaran hanya sebatas mendapatkan nilai bagus atau diresapin hingga hari tua masih diingat? Pernah juga ada yang bilang di Asia, nilai standar UN yang paling rendah. Ah masa seh? Kalau dipikir-pikir, itu sesuai. Karena pembangunan sendiri tidak merata. Mengingat bagaimana daerah di hiterland, daerah di pelosok yang fasilitas pendidikannya saja tidak memadai.

Ah, tapi virus yang bernama UN tidak memandang. Anak pejabat hingga anak petani bahkan pengangguran, semua harus sama rata merasakan panas dinginnya menghadapi UN. Bagi yang punya duit, tidak ada masalah. Bisa kurus di tempat kursus yang bergengsi, bahkan pakai jaminan jika tidak lulus, uang kembali...

Sebenarnya tidak ada salahnya dengan UN, namun orang-orang yang dibelakang UN ini membuat pelajar mengalami depresi hingga stres menghadapi tekanan UN. Padahal UN sama seperti ujian kelulusan biasa, hanya saja beban moral jadi lebih kental dibanding beban kewajiban yang sudah dilaksanakan selama tiga tahun. Ditentukan hanya empat mata pelajaran saja.

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health