Short story for composition writing on magazine but i am not the winner hahaha so I decided to share it



Ku Kejar Ringgit di Malaysia


"Kamu mau? Lumayan lo penghasilannya!"

Tanya mantan bos Nunung saat bertemu Nunung di salah satu cafe. Saat itu Nunung sedang gundah mengenai hubungan asmaranya dengan Handoko, pria campuran Cina dan Sunda itu.

"Saya akan pertimbangkan bu," jawab Nunung lirih.

"Ya sudah saya tunggu secepatnya," ujar Miranda sambil berdiri, "Kamu masih ingatkan tempat untuk menemui saya dimana?"

Nunung mengangguk, "Masih bu, secepatnya akan saya kabari."

Nunung tidak bisa tidur sejak berjumpa dengan mantan bosnya di salah satu cafe yang berada di Baloi. Kerja di Malaysia? Ringgit? Berarti kehidupan mapan! Nunung ingin menghapus bayangan yang mengiurkan dan bayangan bebas dari Handoko.

Alasan Nunung merantau ke Batam, karena ingin bebas dan mendapatkan uang. Wanita bertubuh semampai ini menyadari ia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang gajinya mencapai belasan juta ataupun lima juta ke bawah. Lulusan SMP, tentunya hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan bilyard maupun restauran seafood yang berada di wilayah Nagoya.

Menjadi anak pertama dari keluarga yang susah di kampung membuat Nunung  tidak bisa melanjutkan pendidikan di bangku SMA. Nunung merasa prihatin dengan kondisi ibunya yang menjadi janda. Ibunya memutuskan bercerai, setelah tidak kuat lagi menahan siksaan batin dan fisik. Sosok bapak bagi Nunung adalah pria yang kejam dan berhati bengis. Pada saat itu, usia Nunung baru lima tahun dan masih belum mengerti mengapa ibu meninggalkannya di rumah nenek, setelah diusir bapak dari rumah. Perceraian kedua orangtuanya membuat hidup Nunung berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga lain yang masih kerabat ibunya. Nunung menyadari sejak kecil, ikut kerabat tidak lah mudah, tetapi Nunung berhasil melaluinya dengan baik. Setelah tamat SMP, ibu Nunung pun mengambilnya kembali. Ibu Nunung sudah menikah dengan duda beranak dua dan salah satu anaknya masih kecil. Nunung tetap menyayangi ibunya dan berharap ibunya bahagia. Tetapi disisi lain, Nunung ingin bebas. Meskipun ibunya tidak bisa menyekolahkannya. Ia tidak menyalahkan. Ia hanya ingin pergi dari kampung halamannya. Ternyata Tuhan menjawab doanya. Teman dekat Nunung, Maya pulang kampung dan ia menceritakan mengenai Batam. Nunung tertarik untuk mencoba keberuntungan di Batam.

Akhirnya di sinilah Nunung terjebak di Batam, terjebak dengan gaya hidup khas metropolitan, ekonomi dan hubungan asmara. Maya bekerja sebagai pelayan di bilyard di daerah Jodoh, tempat pertama kali, Nunung merasakan dunia malam saat tiba di Batam. Nunung pun mendapatkan pekerjaan itu atas bantuan sahabatnya. Di tempat yang penuh para pelanggan pria menghabiskan jam malam, Nunung bertemu dengan Handoko. Seiringnya waktu Handoko pun menjadi pacarnya. Handoko tidak suka melihat Nunung kerja malam, apalagi disentuh dan dipeluk para pria. Akhirnya Nunung keluar dari tempat kerjanya dan bekerja sebagai pelayan restauran seafood. Berpacaran dengan Handoko dan tinggal serumah, membuat Nunung bekerja di tempat usaha Handoko. Sejak Nunung sebagai pegawainya membuat ia menyadari sikap keegoisannya. Apalagi setelah Handoko mendapatkan keperawanannya sikap Handoko menjadi-jadi dan semakin posesive. Membuat Nunung tidak kuat lagi menjalani hubungan dengannya. Meskipun Handoko banyak membantu Nunung, bukan berarti perempuan yang baru memasuki usia 21 tahun itu adalah robot. Yang harus siap kapan pun dibutuhkan. Bahkan gaji pun kadang dikasih, kadang tidak, membuat ia kesulitan untuk mengatur keuangannya. "Aku sudah tidak kuat lagi," keluh Nunung pada Lisa, sahabatnya sewaktu bekerja sebagai pelayan di restauran.

"Ya sudah kamu putus saja," saran Lisa, "Untuk sementara waktu kamu bisa tinggal di kosan aku. Lagipula teman sekamarku lagi pulang kampong."

Kebebasan yang Nunung harapkan, tidak semanis anggannya. Tuntutan ekonomi di Batam yang semakin tinggi, belum lagi orangtua yang di kampung mengharapkan kiriman uang. Tekanan emosional hubungannya dengan Handoko membuat Nunung ingin berlari. Tetapi ingin lari kemana? Seakan tidak ada tempat untuk menghindar.

Ringit, mata uang Malaysia itu sangat menggiurkan. Bekerja di Malaysia berarti Nunung bisa menghindari Handoko yang terus memburunya. Selain itu mata nilai mata uang Malaysia masih tinggi dibandingkan hasil jarih payah Nunung bekerja di Batam. Nunung kembali ingat kata-kata mantan bosnya. "Kamu akan mendapatkan bayaran 2000 ringgit sebulan dan itu belum bonus. Kerjamu cuma sebagai pelayan cafe saja." 2000 ringgit, 1 ringgit ia memperkirakan Rp3000 berarti sebulan Rp6 juta. Tempat tinggal dan makan di tanggung. Itu jumlah yang besar bagi Nunung. Sebulan, ia hanya mendapatkan Rp2 juta, itu pun sudah banting tulang. Nunung pun tertidur dengan pikiran yang kalut.

Cuaca panas membangunkannya. Akhir-akhir ini cuaca di Batam tidak bisa di tebak. Panasnya menyengat, kadang hujan tapi tetap membawa hawa panas. Nunung ingin menarik selimut untuk menghalau silau di matanya dan kembali tidur. Tetapi bagian tubuh lain mengatakan hal berbeda. Bunyi keroncong dari dalam perutnya membuatnya harus bangkit dari rasa malasnya. Nunung membasuh mukanya dan pergi mencari makanan untuk mengusir perut yang kian bernyanyi. Menu hari ini yang dipilih Nunung sayur asam dan ayam panggang, masakan khas Sunda yang berada di ujung jalan memang menggiurkan selera. Tidak lupa secangkir es jeruk menyegarkan tenggorokannya yang dahaga. Suara ponselnya berbunyi, Nunung hanya melirik handphone blackberry yang baru tiga bulan dibelikan Handoko. Namun tak ada niat sekali pun Nunung mengangkat ponselnya. Nunung hanya mengaduk-aduk mangkuk sayur asam, rasa lapar diperutnya lenyap entah kemana. Nunung berpikir dan berpikir keras hingga tanpa sadar ia hampir menumpahkan gelas yang berisi jeruk manis yang tinggal setengah gelas. "Ya, aku sudah mengambil keputusan. Ini adalah keputusanku. Aku akan pergi ke Malaysia," pikirnya.

Diambilnya ponsel 3G yang berwarna hitam itu, ditekannya angka 1. Munculah di layar LCD, ibu. Butuh nada dering kelima, baru lah terdengar suara yang berat. "Ada apa Nung?" tanya ibunya, saat menjawab telepon dari putrinya.

 “Bu, Nunung akan ke Malaysia," katanya tanpa basa-basi.

"Apa!" Jerit ibu Nunung, "Untuk apa? Bukannya kamu sudah dapat kerja enak di Batam."
"Ndak papa bu, Nunung mau mencari pengalaman."

"Pokoknya ibu nggak izinkan," ucap wanita paruh baya itu dengan tegas, "Ibu takut kalau ada hal yang buruk menimpa mu nak seperti berita-berita di TV itu.

"Pokoknya ibu nggak usah kuatir," sahut Nunung cepat, "Nunung sudah putuskan! Putusanku bulat." Nunung berpikir, apapun yang terjadi! Aku akan kejar ringgit.

Jantung Nunung berdebar-debar saat kapal feri tujuan Batam-Malaysia berlayar. Nunung berangkat bersama dua gadis lainnya dan mantan bosnya. Nunung merasa sedikit kuatir, karena Nunung sepenuhnya sadar bahwa ia pekerja ilegal di Malaysia. Di dalam kapal feri, Nunung merasa bimbang dan kuatir. Setidaknya itu yang ia rasakan selama tiga puluh menit. "Ah sudahlah," pikir Nunung, "Tujuanku ke Malaysia untuk mengejar ringgit. Apa pun resikonya aku terima." Nunung melirik barisan di samping kanannya, kedua teman barunya yang bernama Yanti dan Ria sudah pulas tertidur.  Usia mereka tidak jauh berbeda dengan Nunung. Tapi Nunung enggan menarik informasi lebih dalam lagi. Akhirnya Nunung putuskan untuk mengikuti jejak mereka. Apalagi Nunung merasa lelah dengan pikiran-pikiran yang ada dalam benaknya. Selama sisa waktu di perjalanan, Nunung habiskan dengan tertidur. Nunung terkejut saat pundaknya ditepuk.

"Bangun, kita hampir sampai," ujar mantan bos Nunung membangunkannya dengan cara menepuk bahunya. Dengan berat hati, Nunung membuka matanya. "Maaf bu, saya tertidur."
"Ya tidak apa-apa, bangunkan kawanmu," sahutnya sambil menunjuk Yanti dan Ria, "Kita sudah hampir sampai."

Nunung pun menganggukkan kepalanya dan membangunkan temannya dengan cara yang sama mantan bosnya membangunkannya. Mereka pun secara bergantian keluar dari kapal dan menuju imigrasi untuk pengecekan dokumen dan mendapatkan stampel. Dalam perjalan ke bagian pemeriksaan imigrasi, jantung Nunung seperti hendak keluar. Nunung masih ingat perkataan mantan bosnya, jika ditanya pihak imigrasi bilang mau menjenguk keluarga yang tinggal di Johor. Nunung pernah membaca di majalah, untuk mengatasi kegugupan dengan menarik nafas dalam-dalam. Nunung pun mencoba menenangkan diri pada saat ia mengantri barisan untuk mendapatkan stampel.

"Berikutnya," teriak petugas imigrasi pada Nunung yang termenung, karena tidak menyadari dua orang di depannya sudah tidak ada.

Nunung pun melangkahkan kaki sambil membawa koper kecil berwarna hitam. Nunung berharap mendapatkan petugas imigrasi pria, karena lebih mudah dibandingkan petugas perempuan yang berdarah Melayu. Hal itu diketahui Nunung dari teman-temannya yang pernah ke Malaysia. "Awak kesini mau ngapain?" tanya petugas imigrasi yang berdarah Melayu kental itu dengan ketus.

Nunung tersenyum,"Saya mau berkunjung ke rumah saudara."

"Saudaranya tinggal dimana dan berapa lama?" Selidiknya.

"Mungkin sekitar dua minggu," jawab Nunung santai, "Saudara saya tinggal di Johor. Beliau menunggu saya di depan."

Wanita itu pun memberikan stampel pada lembaran paspor Nunung. Sesudah mendapatkan stampel itu, Nunung pun meninggalkan bagian imigrasi. Mata Nunung was-was mencari teman dan mantan bosnya. Ada sedikit kelegaan pada saat Nunung melihat sosok yang ia kenal sedang menunggunya disamping pintu gerbang. Dalam perjalanannya menuju pintu gerbang, Nunung sempat berpikiran negatif. Maklum ini pertama kalinya Nunung ke Malaysia dan uang di dalam dompetnya pun tak banyak.
Tidak lama kemudian, mobil avanza berhenti dan seorang pria bertubuh tambun melambaikan tangan. Lambaian tangan itu di balas mantan bos nunung. "Ayo cepatan," katanya, "Jemputan kita sudah datang."

Seperti dijanjikan Nunung memang bekerja di café. Cafe tersebut hanya buka malam hari mulai jam tujuh hingga jam tiga dini hari waktu setempat. Bos baru Nunung orangnya sangat baik, wanita asli Melayu yang masih kerabat jauh dengan mantan bos Nunung. Nunung bersama dua teman barunya diberi tempat tinggal yang berjarak seratus meter dari lokasi café itu berada.

Suasana café tempat Nunung bekerja tidak jauh berbeda denga di Batam. Pengunjung café selalu ramai di wilayah Johor Bahru. Nunung sangat menikmati pekerjaannya. Nunung pun dibelikan nomor ponsel di Malaysia. Wanita muda itu benar-benar merasa bebas dari tekanan yang ia rasakan. Tidak ada gangguan telepon, ia pun merahasiakan keberadaannya di Malaysia dari teman-temannya, hanya dua orang yang mengetahui keberadaan Nunung mencari ringgit di Malaysia.

Dua minggu pun berlalu tanpa di rasa, waktunya Nunung kembali ke Indonesia, ke Batam. Kapal ferri yang berada di pelabuhan Stulang Laut, Johor Bahru membawanya pulang kembali ke Batam bersama dua teman barunya yang ternyata teman yang menyenangkan selama di Malaysia. Namun pada pertemuan kedua, mereka diminta tidak datang bersamaan. Takut pihak imigrasi akan curiga. Nunung diminta untuk tinggal di Batam selama satu minggu, setelah itu kembali lagi ke Malaysia.

Waktu terasa lama saat Nunung berada di Batam, sedangkan saat berada di Malaysia waktu terasa cepat berlalu. Nunung merasa selama di Batam pikirannya selalu galau. Namun, tanggal yang ditungggu-tunggunya untuk kembali ke Malaysia pun tiba. Nunung hanya mempersiapkan beberapa baju seperlunya selama di sana.

Pergi ke Malaysia untuk kedua kalinya dan pergi sendiri membuat Nunung merasa lebih berbahaya. Berbagai pikiran negative menyelimutinya selama kapal membawanya menuju pelabuhan Malaysia. Kali ini, Nunung mendapatkan petugas pria seperti yang diharapkannya pada saat pertama kali datang ke Malaysia. Pertanyaan standar pun dilontarkan pria yang diperkirakan berusia 40 tahunan itu. “Awak sendirian datang ke sini?” tanyanya usai menanyai pertanyaan standar berapa lama dan kemana tujuan datang ke Malaysia.

“Iya saya datang sendiri pak, mau berkunjung ke tempat saudara.”

“Jika awak mau nanti kita bisa jalan-jalan bareng. Saye bisa menemani awak selama disini, bagaimana?” Nunung pun menolak dengan halus, dan pria itu pun akhirnya mengembalikan paspornya yang sudah diberi stampel. Nunung pun melangkahkan kaki pergi dari bagian imigrasi. Ia sudah mencatat alamat dan naik taksi ke tempat kediamannya sementara di Malaysia. Seminggu telah berlalu, Nunung dikejutkan oleh bosnya yang memintanya untuk bersembunyi di café lain milik bosnya yang berjarak 300 meter. Menurut bosnya akan ada pemeriksaan tenaga kerja. Itu diketahuinya dari telepon yang ia terima. “Awak untuk sementara bekerja di salah satu café milik saye, jaraknya tak jauh. Pacik Sulaiman akan mengantar awak, okay?”

Nunung hanya mengangguk saja, selama perjalan ke sana dengan mobil. Nunung merasa kuatir dan cemas. Namun sepanjang perjalanan pacik menjelaskan bahwa mereka telah membayar salah satu polisi disana untuk memberikan informasi kapan akan ada razia. Meskipun merasa takut, Nunung tetap bertahan bekerja sebagai karyawan illegal di Malaysia. Ringgit sudah ia rasakan di tangan. Ia tidak ingin mundur lagi. Resiko pekerja illegal sudah diketahuinya dengan matang, tetapi hidup butuh perjuangan dan pengorbanan. Inilah jalan yang dipilih Nunung untuk meningkatkan perekonomian yang kian sulit dan mahal dengan mengejar ringgit di Malaysia. ©
 

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health