Asal Asul Batu Gantung


Dipinggiran danau Toba, Sumatra Utara hiduplah sepasang petani yang hidup berbahagia. Kebahagiaan keluarga petani sederhana ini semakin lengkap, saat mereka dikarunai seorang bayi perempuan yang berparas cantik.

“Kita namakan siapa anak, kita ini pak,” tanya ibu.

“Seruni, kita namakan dia Seruni,” jawab bapak sambil menggendong anak pertamanya yang selalu dinantikan kehadiran anak di rumah mungilnya.

Pada zaman dahulu kala,  ada keluarga hidup sederhana disebuah desa terpencil yang terletak di pinggiran Danau Toba, Sumatra Utara. Seruni, nama puteri yang dianugrahkan kepada pasangan suami-istri petani ini. Anak mereka tumbuh dengan cantik dan selalu menurutin setiap perkataan mereka. Sebagai anak petani, Seruni sangat rajin membantu orangtuanya bekerja di ladang.


Meskipun ladang mereka tidak terlalu besar, tetapi lokasi ladang yang berada di tepi danau Toba bisa menghidupin kebutuhan keseharian mereka. Ladang selalu panen dengan hasil panen yang baik. Sehingga keluarga petani ini tidak pernah mengalami kesulitan, kesederhanaan hidup pun mereka nikmatin dengan bersyukur. 

Setelah lelah berladang di ladang mereka, mereka duduk bersantai ditepian danau toba sambil mengucapkan syukur atas pemandangan yang indah dihamparan mereka. Waktu berlalu dan mereka melihat anak gadis mereka sudah sepatutnya memiliki keluarga sendiri. Mereka pun berniat menjodohkan Seruni dengan pria pilihan mereka sendiri. Lelaki itu masih berhubungan sepupu jauh dengan Seruni. Hal itu pun disampaikan mereka kepada putri mereka.

Seruni merasa bingung dengan keputusan orangtuanya. Hingga suatu hari, tidak biasanya Seruni pergi seorang diri ke ladang. Saat itu, kedua orangtuanya sedang pergi ke desa sebelah karena ada keperluan lain. Seruni hanya ditemanin seekor anjing setianya, Toki. Dia tidak melakukan pekerjaan seperti biasa, Seruni hanya duduk melamun sambil memandang indahnya danau Toba didepannya.

Ia memandang nanar hamparan danau, biasanya saat sedang ada masalah. Danau Toba ini bisa mengobatin galau dihatinya. Tetapi kali ini, keindahan itu tidak bisa menghalau perasaannya yang gelisah. Anjing setianya, Tobi hanya duduk disampingnya dan sekali-kali memandang majikannya yang duduk termenung. Tobi pun sekali-kali mengonggong untuk mendapatkan perhatian Seruni, biasanya Seruni akan mengelus kepala anjingnya, tetapi hari ini berbeda. Seruni hanya diam terpaku ditempat duduknya. Gonggon manja Tobi tidak mengusiknya sama sekali, beban berat seperti melanda Seruni.

Rupanya gadis jelita itu sedang galau menghadapi delima, ia tidak ingin membuat orangtuanya bersedih. Kalau ia menolak menikahin pria pilihan orangtuanya, padahal disisi lain, Seruni sudah memiliki pujanga yang ia cintai dan ingin menghabiskan hidup bersama kekasihnya itu. Kehidupan yang galau ini, ia rasakan sejak berhari-hari dan Seruni sama sekali belum menemukan jalan keluarnya. Janji hati sudah ia ucapkan dengan pria pujanganya, bahwa ia akan membina rumah tangga yang berbahagia bersamanya selama hidupnya, tetapi janji itu ia tidak bisa tepatin. Jika ia memilih menikahin pria pilihan orangtuanya, sedangkan cintanya hanya teruntuk sang kekasih hati. Jika ia tetap menikahin pujanga, maka kedua orangtuanya yang akan merasa kecewa dan bersedih. Sekalipun Seruni tidak pernah membuat kedua orangtuanya bersedih. Ini yang membuat pikirannya kalut, bagaikan makan buah delima. Ia tidak sanggup memikul beban berat yang ada didepannya ini, Seruni pun mulai putus asa karena tak menemukan jalan keluar dari persoalannya.

“Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa,” keluh Seruni dalam isak tangisnya.

Mentok dengan pemikiran yang ada dibenaknya tetapi tak sekalipun menemukan jalan keluarnya. Ia pun mulai beranjak dari tepian Danau Toba, sambil sesekali menghapus air mata yang berlinang dipipinya. Ia pun berjalan perlahan kea rah danau yang bertebing curam, Toki si anjing setianya itu selalu mengikutin majikannya dari belakang dan sekali-kali mengonggong untuk mendapatkan perhatian Seruni.

Seruni terus saja berjalan kea rah Danau Toba tanpa memperhatikan jalan disekelilingnya dan dilaluinya. Sehingga, ia pun berteriak, saat ia terperosok masuk ke dalam lubang batu yang besar. Ia pun jatuh ke dalam dasar lubang yang paling dalam. Di dalam lubang itu terdapat batu cadas yang hitam dan batu itu membuat suasana dalam lubang itu gelap gulita. Ia tidak bisa melihat apa-apa, gadis cantik itu pun mulai merasa ketakutan. Seruni seakan-akan merasakan bahwa batu itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

Tanpa sadar, Seruni pun berteriak meminta tolong. “Tolong, tolong. Toki, tolong aku,” teriak Seruni dari dasar lubang kepada anjingnya.

Toki menyadari bahwa majikannya sedang dalam keadaan berbahaya, tetapi Toki hanyalah seekor anjing yang bisanya hanya mengonggong saja. Toki pun mengonggong dengan kencangnya, tetapi karena lokasi tempat dimana Seruni terjatuh sangat sepi. Sehingga tak ada seorang pun yang mendengar lolongan anjing itu. Mendengar lolongan anjing dari mulut lubang, Seruni pun semakin putus asa karena tak ada seorang pun yang akan menolongnya.

“Dari pada aku hidup dalam keadaan susah dan akan melukai orang-orang yang aku kasihi, lebih baik aku mati saja,” ujar Seruni pasrah. “Parapat, Parapat, parapat batu,” seru Seruni lantang menyuruh batu-batu yang ada disekelilingnya menghimpit tubuhnya yang tak berada dalam lubang batu yang gelap itu.

Tiba-tiba dinding-dinding batu cadas itu bergerak perlahan dan semakin merapat. Melihat hal itu, Toki menyadari bahwa majikannya terancam bahaya. Lolonganpun tak seorangpun mendengarnya. Toki pun segera berlari pulang ke rumah meminta bantuan. Setiba di rumah majikannya itu, kedua orangtua Seruni baru pulang dari desa mendapatin Toki berlari seorang diri dan terus mengonggong tiada henti. Melihat kelakukan anjing kesayangan anaknya ini bertingkah laku tak biasa. Kedua orangtua Seruni menyadari ada yang tidak beres pada anaknya.

“Kenapa Toki, dimana Seruni! Apa yang terjadi padanya?” Tanya ayah pada si anjing.

Toki yang tidak bisa berbicara bahasa manusia hanya mengonggong dan melompat-lompat agar mereka mengikutinnya untuk menuju lokasi dimana Seruni terjatuh.

“Pak, sepertinya Tobi mau mengajak kita kesuatu tempat. Mari kita kesana pak. Jangan sampai ada sesuatu yang terjadi pada anak kita,” ujar Ibu mulai kuatir, karena hari akan semakin gelap.

“Baik ibu, cepat nyalakan obor dan ayah akan meminta bantuan tetangga dulu,” kata ayah sambil berlari meninggalkan ibu yang mulai menyalakan obor.

Tidak lama kemudian, ayah sudah datang bersama rombongan tetangga di halaman rumah mereka. Mereka pun mengikuti Toki yang berlari menuju Seruni yang berada di dalam lubang. Toki mengisaratkan bahwa Seruni ada di dalam lubang batu itu dengan cara mencakar-cakar pinggiran lubang tersebut, melihat anjingnya bertingkah seperti itu. Kedua orangtua Seruni pun sepontan kaget bahwa putrinya terjatuh ke dalam lubang yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

Mereka segera mendekatin mulut lubang dan sangat terkejutnya mereka saat mendengar sayup-sayup suara gadis dari dasar lubang yang berujar “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!” Ibu Seruni yang menyadari bahwa itu adalah suara anaknya. Ia pun segera panik, “Pak, pak, dengar itu suara anak kita, Seruni,” serunya panik. Mendengar suara istrinya yang histeris, bapak itu pun mendekatkan telinganya di dekat mulut lubang untuk mendengar lebih jelas suara sayup-sayup itu. “Iya ibu, itu benar anak kita, sepertinya ada yang tidak benar didalam sana,” papar ayah cemas.

Rombongan itu pun berusaha untuk menerangin lubang dengan obor yang dibawa mereka, tetapi dasar lubang itu sangat dalam dan hari pun semakin gelap. Sehingga mereka tidak bisa melihat apa-apa. Seakan-akan lubang itu tidak bisa ditembus oleh cahaya. “Seruni, Seruni!” teriak ayah memanggil putri semata wayangnya.

Ibu Seruni tidak mau kalah meneriakan nama anaknya, “Seruni anakku, ini kami datang untuk menolongmu,” ucapnya bergetar, “Bertahanlah, nak.”

Meskipun mereka berteriak dengan kerasnya, mereka hanya mendengar suara Seruni yang semakin meredup menyuruh batu itu untuk terus merapat dan menghimpitnya. “Parapat, parapat, parapat,” ujar Seruni dari dasar lubang yang terus terdengar sayup-sayup diatas lubang dimana kedua orangtuanya dan romobongan tetangga berdiri mengelilingi lubang tersebut.

Tetangga yang turut datang ke lubang tempat Seruni jatuh itu berusaha membantu tetapi tidak ada tanda-tanda. Bahkan seorang dari mereka pun melemparkan tali sampai ke dasar lubang tetapi tali itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah pun mulai panik dan kuatir dengan keadaan anaknya. Ia pun segera memutuskan untuk menyusul putri kesayangannya dengan cara masuk ke dalam dasar lubang tersebut. Namun, tindakan sang ayah dihalangin sang ibu. “Jangan pak, jangan masuk ke dalam lubang,” pinta ibu.

“Tetapi bagaimana dengan anak kita ibu?” Tanya ayah.

“Tindakan bapak itu sangat berbahaya, bagaimana dengan ibu nanti?”

Mendengar percakapan itu, salah seorang warga juga berpendapat sama dengan sang ibu. “Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.


Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dahsyatnya seakan hendak  terjadi gempa yang dasyat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. 

Ayah dan ibu Seruni beserta rombongan berlari berbagai arah untuk menyelamtkan diri mereka. Mereka meninggalkan Seruni yang masih berada di bawah dasar batu itu. Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas. Pada saat batu itu merapat dan menghimpit tubuh Seruni yang tidak berdaya. 

Gempa dasyat itu pun berhenti. Saat warga menyadari gempa berhenti dan mengingat Seruni masih berada di dasar lubang itu. Mereka terkejut dengan apa yang mereka lihat. Ada sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seakan-akan menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Suara terakhir yang mereka dengar adalah Parapat, sehingga mereka menamakan tempat itu Parapat dan batu yang menyerupai tubuh wanita itu, mereka namakan “Batu Gantung”.

Note: Rencananya tulisan ini untuk diikut sertakan dalam lomba menulis cerita rakyat tetapi ini draft baru jadi 70 persen, karena masih ingin dimasukan beberapa dialog berbahasa batak, tetapi semuanya berantakan karena papa sakit-sakitan dan teman juga lagi sibuk kala itu. Cerita ini sengaja di post kan untuk mengenang papa. Papa, aku merindukanmu.....

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

Jadilah orang pertama yang berkomentar!

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health