Hidup tak kan pernah cukup bagi orang yang tidak bersyukur pada kehidupan. Ia akan terus merasa kekurangan dengan apa yang ada di dirinya. Itu lah yang Anne pikirkan, saat membaca kembali beberapa surat yang diterimanya. Isi surat yang diterimanya beberapa waktu lalu mengenai tidak ada biaya untuk mengikuti gaya hidup jetset --kelas atas--

Kalau mengikuti keinginan diri sendiri, tentunya Anne juga ingin mempunyai rumah megah bahkan yang ada kolam renang sendiri, pembantu yang mengurusi semua keperluan di rumah, mulai dari yang mengurus kebun, rumahtangga, memasak, kalau bisa lebih dari dua orang pembantu. Memiliki berbagai cabang bisnis di Indonesia, keliling dunia setiap sebulan sekali. Bulan ini ke Paris, bulan depan ke Amerika.

Anne menyadari itu tidak akan mungkin, tetapi ia bersyukur apa yang ia punya. Pekerjaan freelance yang tak memakan waktu, hobi menulisnya disalurkan dan usaha bisnis kecantikan plus butiknya meskipun pasang surut tetapi mencukupi biaya kebutuhannya sehari-hari dan juga jalan-jalan setahun atau bahkan enam bulan sekali ke luarnegeri. Untuk mencari trend yang terbaru, untuk mengisi butik dan salonnya agar selalu up to date.

Namun, sedikit orang yang merasa bersyukur atas semua yang sudah menjadi miliknya dan dirasakannya. Manusia ingin lebih dan lebih. Tanpa pernah memandang ke bawah. Seperti istilah diatas langit masih ada langit. Manusia lebih senang memandang keatas dan berharap bisa menjadi si A atau si B.

Seharian ini, Anne mencoba membuat resep baru. Stawberry Shartcake. Bahan yang dibutuhkan 1/4 mangkuk tepung terigu, 1/4 tepung maizena, 1 1/4 sendok teh bakpuder, 4 kuning telur, 3 sendok makan air dingin, 3/4 mangkuk gula, 4 putih telur dan 1/4 sendok teh vanili. Seta 1/2 kilo arbei segar.

Dicobanya beberapa bahan tersebut untuk diolah menjadi adonan. Sedikit ribet dibanding buat kue bolu, tetapi Anne yang notabennya senang makan cemilan ini pun berusaha mencoba resep baru dari buku menu sehat. Ngemil boleh saja, tetapi ada baiknya ngemil makanan yang sehat bukan?

Beberapa jam berkutat di dapur, mempersiapkan bahan dan mengolah. Serta mengoven. Belum lagi harus membereskan dapur yang sudah dibuat berantakan. Kebetulan, hari ini bi Inah --yang membantu bersih-bersih rumah dari pagi hingga sore-- sedang tidak masuk. Izin, karena disekolah anaknya ada acara bersama orangtua. Terpaksa Anne mengerjakan urusan beres-beres. Mencuci bekas adonan kue --pekerjaan yang paling tidak disukainya-- Benar-benar menguras tenaganya.

Namun harum semerbak Stawberry Shartcake memenuhi ruangan dapur membuatnya puas. Setelah dirasa cukup matang. Stawberry Shartcake pun diangkat dan ditaruh diatas piring yang sudah disiapkan. Dihias dikit dengan cream yang diberi pewarna rasa Stawberry dan diatasnya diberi hiasan potongan buah Stawberry yang masih segar.

Em, sedap pikir Anne. Anne melirik jam dinding disudut ruang makannya. Jam menunjukan pukul 17.20 WIB. Anne pun bergegas mandi dan memotong kue tersebut lima iris dan ditaruhnya dalam taperware. Mau diberikan pada orang yang bekerja di salonnya. Setiap Anne membuat resep baru, pertama kali yang merasakan empat karyawati di salon dan butiknya.

***

Anne bersiap-siap untuk tidur. Setelah menyelesaikan membaca buku air penyembuh ajaib. Saat itu, jam di ponsel sudah menunjukan pukul 1 dini hari. Jelas saja, Anne sudah merasa mengantuk. Apalagi seharian berada di dapur, membereskan pekerjaan rumah dan membantu karyawatinya mengitung stok barang. Serta membalas beberapa surat yang masuk lewat email maupun lewat pos.

Ponselnya berdering, dengan mata yang hampir terpejam. Karena menahan kantuk, Anne menjawab telepon. Hallo, ujar Anne, setengah tertidur. Terdengar suara disebrang musik disco yang nyaring hingga membuat Anne berada di diskotik juga.

Anne langsung melihat layar ponsel, Stella. ''Stella, kamu dimana? Kamu di Batam kah?'' tanya Anne cemas.

''Iya lo kesini lah. Ditempat biasa ya. Ditempat biasa gue nongkrong,'' seru Stella berteriak untuk mengalahkan musik disko tersebut.

''Ya, sudah tunggu disitu. Jangan kemana-mana. Kamu pasti mabuk lagi,'' keluh Anne sambil menutup telepon dan bergegas mengambil baju yang ada didalam lemari.

''Kenapa lagi tuh anak,'' pikir Anne saat mengendari mobil menembus gelapnya malam menuju arah Jodoh.

***

Anne tiba di tempat biasa Stella nongkrong kalau berkunjung ke Batam. Menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan kalau lagi punya masalah. Anne mengenal Stella, berawal dari Stella suka membeli baju dibutiknya dan pelanggan salon tetap. Disitulah mereka akrab. Anne yang mudah bergaul, gampang mendapatkan kawan dan orang yang jauh bisa menjadi dekat dengannya. Karena, Anne memiliki pribadi yang menyenangkan. Walaupun kadang ngeselin. Namanya juga manusia, tidak ada yang sempurna bukan?


Diremangnya lampu diskotik, musik yang berdentang keras. Anne mencari sosok kawannya itu. Anne melihat tubuh seksi berbalut baju putih tong top, sedang duduk di bar. Menengak beberapa minuman keras, layaknya air putih. Anne langsung mengampiri dan sedikit berteriak. ''Stel, pulang yuk. Lo, sudah minum banyak neh,'' teriak ku pas ditelinganya.

Stella yang sudah mabuk itu pun segera membalikkan badannya dan melihat pada ku. ''An, akhirnya kamu datang juga,'' ujarnya dengan mulut yang bau akhohol bercampur rokok. ''Nanti dulu lah, beberapa gelas lagi ya,'' pintanya.

Aku menggelengkan kepala dan menanyakan pada bartender berapa bill yang harus dibayarkan. Bartender itu menuturkan sudah dibayarkan langsung oleh Stella. Aku tarik tangan Stella, tubuh tinggi semampai itu semponyongan --yang jelas bukan karena tarikan Anne--

''Mas, tolong bantu antarkan ke mobil,'' pinta ku pada bartender agar menyuruh karyawan situ membantu ku membopong tubuh Stella yang sudah setengah tidak sadar.

''Ada apa dengan mu, Stella,'' tanya ku saat sudah berada di parkiran. Dibantu sekuriti setempat. ''Makasih ya pak,'' ujar ku sambil menyerahkan beberapa lembar uang.

''Jangan muntah dimobil ku ya,'' kata ku lebih pada angin malam. Karena Stella sudah tak sadarkan diri. Seperti sedang berada didunianya yang lain.

***

''Aduh'' rintih Stella dari balik kamar tamu.

''Makanya non, jangan suka minum akholol terlalu over. Neh, coklat panas diminum. Sama ada aspirin tuh di kotak obat,'' ujar ku mengantarkan minuman. ''Ada apa sebenarnya. Datang ke Batam ga bilang-bilang. Nelp diriku dalam keadaan mabuk,''

Stella menerima cangkir yang berisi coklat panas dan menegaknya. Matanya masih nanar. Dikarenakan sakit kapala yang --mungkin-- tak terhingga. Akibat dari pengaruh akholol yang diminumnya semalam. ''Makasih ya,'' ujarnya akhirnya. ''Kirain aku sudah mati,''

''Memangnya kamu mau bunuh diri,'' kata ku.

''Ngak juga seh,''

''Lalu. Ngapain lo minum sampai segitu banyaknya. Ada masalah apa seh,'' tanya ku akhirnya dengan tak sabaran.

''Aku . . . Aku tak tahu harus mulai dari mana,'' katanya akhirnya.

''Aku tahu kamu harus mulai darimana. Dari mandi dulu sana, badan mu dari tadi sudah bau, berbagai macam tahu baunya,'' ujar ku sambil melemparkan handuk bersih padanya. ''Aku tunggu di luar ya. Aku siapkan sarapan dulu,''

Stella beranjak dari kasur dan berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju kamar mandi tamu. Anne pun bergegas keluar dan menyiapkan sarapan sereal dan roti bakar. Serta telur rebus setengah matang.

Stella keluar dari kamar dengan wajah yang agak segaran. Meskipun matanya masih sayu dan kepalanya masih sedikit nyeri akibat akholol tersebut. ''Wangi banget, aku jadi lapar,'' ujarnya sambil menarik kursi dan duduk didepan ku.

Anne berusaha menahan pertanyaan yang ada didalam benaknya. Anne berusaha menikmati sarapannya tanpa berkata-kata. Berusaha menekan rasa penasaran yang bisa membunuhnya. setelah sarapan, mereka memilih duduk bersantai di teras. Memandang jalan yang hanya dilalui beberapa orang saja. Taman yang kecil tetapi ditata begitu apik menambah pemandangan yang menarik.

Anne menghela nafas, mencoba menenangkan diri dari berbagai pertanyaan yang ingin diajukan pada sahbat dan sekaligus pelanggan salonnya. Dibukanya lembar demi lembar majalah, namun ia tak bisa konsen. Karena, tidak pernah ia melihat Stella begitu rapuh malam itu. Selama ia mengenalnya, Stella adalah sosok yang kuat dan tegar. Bahkan mandiri.

Sementara Anne masih berkutat pada pemikirannya, Stella sendiri merasa bingung, Apakah kejadian semalam patut diberi penjelasan, pikir Stella dalam hati. Mencoba membaca baris buku yang dipilihnya. Namun, ia sendiri berpikir dan bertentangan dengan kata hatinya untuk mengungkapkan apa yang sebaiknya diceritakan. Malu mengenai kejadian seharusnya tak perlu terjadi.

''Aku . . .,'' kata Anne dan Stella berbarengan dan tersenyum. Anne, ''Kamu duluan deh yang bicara''

''Sebenarnya aku gak perlu mabuk-mabukan seperti itu. Selama aku pindah ke Jakarta, aku bergaul dikalangan. . . Ya, kamu tahu sendiri. . Tiap malam kami clubbing dari satu cafe ke cafe lain. Tidak hanya di Jakarta, Bandung, Bali dan beberapa tempat menarik lainnya,'' ungkap Stella.

''Tidak hanya lokal, bahkan kami juga jalan-jalan ke Singapur, Malaysia, Thailand, Hongkong dan beberapa tempat lainnya hanya untuk menghambur-hamburkan uang untuk menikmati gaya hidup kelas atas. Bohong, kalau aku bilang tak menikmatinya dan aku mulai menyukai dunia ini. Dunia dimana, kami selalu bebas melakukan apa pun,''

Anne hanya tersenyum. ''Lalu, apa yang terjadi pada gaya hidup mu yang baru. Suami mu bagaimana?

''Awal mulanya, suami ku mendukung. Ia memberikan uang yang ku minta. Bahkan kadang kami pergi clubbing bareng bersama kelompok ku yang sudah ku kenal enam bulan,''

Suara Stella mulai bergetar dan menangis. Anne tak tahu harus bagaimana. Karena bingung apa yang sedang disesalinya dan mengapa dia menangis. Sebagai sahabat yang baik, Anne mengenggam erat tangan Stella. ''Sekarang persoalannya dimana,'' tanya Anne akhirnya, membunuh kebisuan yang terjadi diantara mereka.

Masih dengan mata sembab, Stella menceritakan, gaya hidupnya yang berubah drastis membuat keuangan keluarganya kacau balau. Bahkan terbilang bangkrut. Padahal, seharusnya ia dan bersama kelompoknya terbang ke negara fashion untuk menikmati hidup disana. Shopping, dugem dan berbagai hal yang menarik lainnya.

''Hidup ini tidak adil ya,'' katanya.

''Siapa bilang,'' tanya ku.

''Lihat saja aku, aku merasa hidup ini tidak adil. Apa yang ku impikan dan ku inginkan tak menjadi kenyataan. Keliling dunia, shopping barang-barang branded di Paris, Roma, Italia tak lagi bisa dilakukan,'' keluhnya.

Aku mencerna tiap perkatannya. Stella, wanita yang sukses, menikah juga dengan pria yang sukses. Sehingga sangat tidak mungkin, kebutuhannya tidak terpenuhi. ''Bukannya itu sering kamu lakukan,'' tanya ku akhirnya.

Ku lihat, Stella memainkan cincin nikahnya di jari manisnya. ''Sejak aku mengenal clubber ini. Keuangan suami ku mulai menipis. Hampir tiap malam, tidak hanya satu cafe yang kami datangi, hari ini ke Bandung, Jakarta, Surabaya. Tiap hari berbeda club kami datangi. Awalnya, suami tak melarang. Karena ia sanggup membiayai kehidupan ku,'' cerita Stella.

Stella berusaha agar air matanya tak jatuh keluar. Katanya, usaha suaminya hampir bangkrut, karena uangnya selalu dihabiskannya. Padahal, minggu depan, clubbernya hendak menghabiskan waktu di Paris dan Italia untuk dugem dan juga shopping.

''Masa aku ngak ikut, masa dia ga bisa memberikan keiginan ku itu,'' keluh Stella.

--Wow-- Aku hanya tersenyum. ''Stella, apa kamu menikmati hidup dugem mu. Apa kamu merasa enjoy dan sehat'' tanya ku

Stella terdiam dan merenung. Ia pun menjawab, ''Ya, aku enjoy dengan kehidupan dan teman ku sekarang. Walaupun, terkadang kalau bangun. Kepala ku suka sakit, itu biasa. Karena habis kebanyakan minum.

''Aku tak bisa memvonis kamu bersalah atau aku kasihan sama suami mu. Itu adalah urusan keluarga mu. Hanya saja, apakah itu memang yang terbaik bagi mu?'' tanya ku lagi.

''Bukannya aku mau menasehati mu, kadang kita selalu memandang keatas langit. Di langit masih ada langit, tapi bagaimana dengan di bawah langit. Tentunya, jarang diperhatikan. Hidup mu beruntung. Memiliki semua yang kamu inginkan, hingga akhirnya apa yang kamu inginkan lebih tak kesampaian lagi. Tapi, kamu pernah merasakannya,'' ungkap Anne.

Anne menuturkan, sekali-kali lihatlah ke bawah, bagaimana orang berjuang untuk mengumpulkan lembaran rupiah yang tak seberapa bagi mu, tapi sangat berharga baginya.

''Terus aku harus bagaimana?,'' tanya Stella. ''Tidak mungkin, aku tidak pergi dengan kawan-kawan ku.

''Kawan yang mana? Seharusnya, kamu lebih pandai dalam memilih kawan. Mana yang baik dan tidak baik. Itu bukan kawan namanya. Coba, kamu buktikan, telepon kawan mu dan minta dia membantu mu, apakah bersedia meminjamkan uang untuk dugem bersama mereka ke Paris,'' kata ku.

Stella diam saja dan tak bergeming dari tempat duduknya dan dalam hitungan menit. Air matanya meledek. Suara samar terdengar dari bibir tipisnya, ''pernah ada teman kami yang posisinya sama seperti ku. Hampir bangkrut, mereka menghindarinya dan seakan-akan tidak pernah mengenalnya,''

''See, mereka bukan teman yang baik. Teman yang baik itu siap disaat susah dan senang. Seharusnya, kamu juga bisa menjadi teman dan istri yang baik bagi suami mu,'' kata ku.

Stella memandangi ku kesal. ''Dia yang tak bisa mengelola uang dengan baik. Sehingga aku tak bisa bersenang-senang'' ujar Stella mempersalahkan suaminya.

''Lalu, uang darimana yang kamu dapat untuk menikmati hidup glamor mu. Aku dengar usaha mu pun sudah tak diurus dengan baik. Karena kehidupan malam mu. Suami mu kan yang membiayai semua kartu kredit dan hidup glamor mu,'' ujar ku dengan nada pelan.

Wajah Stella makin murung. ''Stel, bukan aku mau mempersalahkan kamu. Dalam kehidupan itu selalu ada yang namanya pasang surut, jadi biasa kali. Disaat seperti ini, kamu harus memandang kehidupan untuk memperbaiki kesalahan, bukan pelarian,'' ujar ku menambahkan.

''Aku tahu,'' katanya, akhirnya setelah diam membisu.

''Sebagai kawan, aku harap kamu melihat ke bawah. Jangan keatas terus, pasti leher mu sakit. Memandang ke bawah, maka kamu akan mensyukuri semua rahmat yang telah kamu terima,'' harap ku.

''Makasih, apa suami ku masih mau menerima aku. Sebelum aku ke Batam, kami bertengkar hebat,'' ujar Stella.

''Coba kamu hubungi, pasti dia masih memaafkan kamu dan kamu bisa memulai kehidupan baru dengan pemikiran baru,'' saran ku.

***

Seorang istri merupakan tonggak kesuksesan suami. Karena peran istri sangat penting dalam membantu peran suami untuk mensukseskan. Dibalik kesuksesan pria, pasti ada istri yang mendampingi. Namun, terkadang istri juga bisa menghancurkan kesuksesan suami. Semua itu harus seimbang untuk dijalani.

Semua orang merasa tak puas dengan apa yang sudah didapatkan dan ingin lebih dan lebih. Namun, hanya untuk mencari kesenangan dunia. Maka itu tak kan abadi. Namun, mencari dahulu kerajaan surga, semua akan dipenuhi, segala kebutuhan.

Artikel Terkait:

Silakan pilih sistem komentar anda

2 komentar untuk Tak Pernah Merasa Cukup

You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health

  1. moga lu nanti bisa menjadi istri yang baik bro..
    pengalaman teman mari kita jadikan pelajaran untuk hidup lebih baik..

    BalasHapus
  2. to Ina

    Amin . . . Thanks ya bos doanya hehe

    BalasHapus